
Dari Gelap ke Cahaya: Perjalanan Seorang Pejuang Hidup
Aku lahir ke dunia tanpa pernah benar-benar mengenal apa itu keluarga. Sejak hari pertama aku menghirup udara segar, aku harus menerima kenyataan pahit: hidup tanpa kedua orang tua di sisiku. Ayahku pergi meninggalkan kami bahkan sebelum aku sempat melihat wajahnya. Sementara itu, ibuku… ah, ia adalah sosok yang rumit, penuh luka dan kegetiran hidup.
Aku dibesarkan oleh nenekku, seorang wanita tua dengan cara mencintai yang berbeda dari kebanyakan orang. Ia tidak banyak bicara, tidak sering memberikan pelukan atau kata-kata manis, tapi aku tahu, di dalam hatinya ia menyayangiku dengan caranya sendiri. Aku tumbuh besar dengan bubur beras seadanya yang ia masak di dapur kecil rumah kami. Ia sering berkata, “Hidup ini keras, Nak. Kamu harus lebih kuat dari apa pun yang akan kamu hadapi.” Kata-kata itu terukir di benakku, meskipun aku tidak sepenuhnya mengerti apa maksudnya saat itu.
Ketika aku mulai belajar berjalan, ibuku perlahan kembali hadir dalam hidupku. Ia mencoba kembali mengasuhku, meskipun aku tahu, hatinya masih penuh dengan luka yang belum sembuh. Ibu adalah seorang perempuan yang hidupnya penuh dengan ujian. Ia menikah terlalu muda, saat masih duduk di bangku madrasah. Ayah menceraikannya ketika ia sedang mengandungku, setelah ia menyerah pada tekanan keluarganya yang meminta menikahi wanita lain.
Ibuku kehilangan segalanya dalam sekejap. Mimpinya menjadi seorang hafizah harus ia kubur dalam-dalam. Padahal, ia adalah seorang gadis cerdas yang memiliki cita-cita besar untuk mengikuti seleksi nasional hafalan Al-Qur’an. Tapi nenek dari pihak ibu justru memadamkan apinya dengan berkata, “Perempuan tidak perlu tinggi-tinggi bermimpi. Cukup di dapur, sumur, dan kasur.” Kata-kata itu menghancurkan semangat ibu dan membuatnya kehilangan arah.
Setelah perpisahan itu, ibuku hidup dalam tekanan yang luar biasa. Ia mengalami gangguan mental akibat rasa sakit yang mendalam. Ketika gangguan itu kambuh, aku sering menjadi pelampiasannya. Aku masih ingat, ada suatu hari ketika aku hanya meminta dibelikan sepatu baru. Tapi ibu, dengan emosi yang tak terkendali, menamparku di depan banyak orang. Hati kecilku hancur. Aku menangis bukan karena sakit fisik, tapi karena aku merasa tidak dipahami. Namun, seiring waktu aku menyadari, ibuku tidak bermaksud jahat. Ia hanya terlalu lelah, terlalu tertekan oleh hidup.
Aku juga pernah mendengar cerita dari nenekku tentang masa kecilku. Ibuku, di tengah keputusasaannya, pernah menitipkanku kepada seorang kiai. Ia merasa tidak mampu merawatku dan berpikir bahwa aku akan memiliki kehidupan yang lebih baik bersama orang lain. Tapi, rasa bersalah menghantuinya begitu kuat. Di tengah malam, dengan tangisan yang pecah, ia datang kembali dan mencuriku dari tempat itu. Ia memelukku erat, berkata, “Maafkan ibu, Nak. Ibu tidak bisa hidup tanpa kamu.”
Sejak saat itu, kami hidup bersama, mencoba bertahan di tengah kerasnya kehidupan. Kami berpindah dari satu kota ke kota lain, dari satu tempat ke tempat lain, demi mencari penghidupan yang lebih baik. Salah satu kenangan yang tak pernah hilang dari ingatanku adalah ketika kami berdagang di atas kapal. Saat itu, aku yang masih kecil, dengan polosnya memecahkan telur-telur dagangan ibu. Ratusan telur yang menjadi harapan kami untuk hari itu hancur begitu saja karena kecerobohanku. Aku takut ibu akan memarahiku, tapi ia hanya terdiam. Ia memunguti pecahan telur itu satu per satu sambil menahan air matanya.
Ada pula kejadian lain yang masih lekat dalam ingatanku. Saat itu, aku membuang ikan-ikan dagangan ibu ke laut. Aku pikir itu adalah permainan yang lucu. Aku tidak tahu bahwa ikan-ikan itu adalah sumber penghasilan kami. Ibu menatapku sejenak, lalu tersenyum kecil. “Tidak apa-apa, Nak,” katanya dengan suara yang bergetar, “ibu bisa mencari lagi.” Aku tahu, di balik senyumnya, ada hati yang terluka.
Setiap hari, ibu berjuang untuk memberikan yang terbaik untukku dan saudara-saudaraku. Meski hidup sering kali tidak adil, ia tidak pernah menyerah. Aku sering melihatnya menangis di malam hari ketika ia berpikir aku sudah tertidur. Tapi di pagi harinya, ia kembali tersenyum, kembali bekerja keras, seolah-olah tidak ada yang pernah terjadi.
Kini, ketika aku melihat kembali perjalanan hidup kami, aku menyadari betapa besar pengorbanan ibuku. Ia adalah seorang perempuan yang luar biasa, seorang pejuang yang tidak pernah menyerah meski hidup terus-menerus menghantamnya. Dari ibu, aku belajar arti ketangguhan, kesabaran, dan cinta tanpa syarat.
Hidup kami mungkin jauh dari kata sempurna, tapi justru di sanalah letak keindahannya. Setiap luka, setiap air mata, setiap tawa kecil di tengah kesulitan, semuanya membentuk kisah kami yang unik. Aku bangga menjadi anak dari seorang perempuan hebat seperti ibuku.
Inilah kisahku. Kisah tentang perjuangan, pengorbanan, dan cinta yang tidak pernah padam.
Ditulis Oleh : Rumiati